Jumat, 23 Januari 2015

Berbagi serbuk kebaikan

Sebuah kabut putih menyelinap diam-diam dalam pori kayu lapuk berwarna putih. Masih terasa dingin. tetesan embun dan aroma menyerbak di udara pagi hari.

Jendela pagi telah diketuk oleh sekawanan pitik berjembel merah sambil mengetewakan manusia yang tidak bisa membangun semangat pagi. Sesosok pria yang tidak jauh beda dengan pria lain yang setiap paginya menunutut ilmu, bekerja, dan berbakti dalam aksi kemanusiaan ini. Dengan baju yang sama pria ini selalu memakai batik dan seringkali jarang menggantinya dengan yang wangi penuh bunga 7 rupa.

Daun-daun yang tidak pernah membenci angin dan hamparan pasir yang tidak pernah membenci air hujan kerap kali itu adalah wujud paguyuban alam semesta ini. Setiap pagi ia selalu membersikan halaman yang dsinggahi karena ia percaya akan kata bijak ini "rawatlah aku sebagaimana kamu aku rawat disini". tak sadar ia selalu merenungkan itu.

Ia selalu meneriakkan kata-kata motivasi meski tak banyak orang yang mau mendengarnya. Selalu optimis dan percaya diri inilah yang bisa menghantarkan jiwanya selalu mampu bisa bertahan dengan orang-orang yang apatis. Ia tak pernah ragu apa yang seharusnya dijalani maupun yakini. Setapak kaki dan Pantofel lama yang setia menemaninya. Tanpa mengawali dengan mengisi energi dengan asupan makan. Ia mampu berjibaku dengan kehidupan tengah kota yang kadang sulit ini. tanpa basah-basih Quris ini selalu menampar semangatnya yang mulai lelah untuk bertahan terus untuk menggapai cita-cita menjadi orang intelektualitas dan berjiwa kemanusiaan.

Selama hidup yang sudah dilalui ia mampu mengendarainya sampai finish. yah, terkadang mamang harus berat dulu rasa hidup ini agar terbiasanya menghadapi yang mungkin lebih berat lagi. Hidup ini selalu menyuguhkan hal-hal yang membuat kita indah hanya saja kita sendirilah yang berburuk sangka. Ujian hidup adalah letak dimana kita agar terus beriman dan bertaqwa serta mampu mempertahankan standarisasi hidup kita.

"Lalu apa kamu pernah bilang ke aku begitu." Teriak laki-laki pendek itu.

"Kalaupun aku sendiri yang menjawab pasti kamu selalu mencari kekurangan orang lain." sahut Quris dengan tegas.

Hahaha... isokmu opo, nyatane wong sembayang tapi omongane rusak, yah percuma. anakku loh ngerti, yang jelek-jelek dibuang aja dan yang bagus disimpan. tungkasnya sambil berbangga diri.

Tanpa perlu debat panjang dan tidak juga berujung pada kebaikan percuma saja dibahas. Quris sambil melanjutkan makan sorenya dengan dada tersesak karena kata yang mengganjal difikirannya. Sesudah makan selesai ia melakukan gerakan tanpa pamitan yang dilontarkan kepada se-payung merah itu.

Melihat Handphone berbalut batik ia melihat sms berlangganan kata insprasi mengirimkan pesan singkat bertuliskan. "Iman itu menyelamatkan kita". Terngiang-ngiang dikepala Quris yang melilungkan fikirannya. "Apa maksud dari pesan itu." renungnya.

Sembari menikmati seduhan kopi hitam ia tak lagi mengantuk dan matapun menjelajah pandangan yang menjadi bening. Lalu ia tak lama-lama dengan memikirkan hal yang membuat otaknya tersumbat maka ia memancing obralan ringan dengan seseorang yang berbadan besar.

"Pak Mark saya mau tanya nih," nada tanya dari Quris
"Iyo, Lapo ?" dengan logat kental jawennya.
"Ada seseorang yang pernah berkata begini, Percuma orang itu sholat tapi bicaranya gak bisa dicontoh." sahut Quris.

Dia bukan orang tua yang baik, Fanah hidupnya meski sejuta kebaikan yang dilakukan hasilnya nol kembali. sudahlah hentikan omong kosong yang tidak ada guna.

Ingat orang baik selalu berorientasi pada kebaikan bukan saling cari cari keburukan sesama.

0 comments: