Kamis, 25 April 2013

Hidup = pengorbanan

Iya begitulah hidup harus ada pengorbanan karena esensi iman adalah kesiapan total untuk menyerahkan dan mengorbankan segala yang dimiliki untuk Allah, dan di jalan Allah, Karena “barang dagangan” Allah (Surga) itu mahal (HR. Timidzi).
Dan pengorbananlah harganya.
Karena tiada hidup tanpa perjuangan, dan tiada perjuangan tanpa pengorbanan.
Karena kaidah sunnatullahnya bahwa, yang tak siap berkorban, berarti telah rela hidup tak bermartabat.
Dan juga karena hidup ini penuh dengan beragam ujian, cobaan dan tantangan. Dimana semuanya menuntut pengorbanan demi pengorbanan tanpa henti.

Itu ringkasannya. Dan berikut ini sedikit penjelasannya.

Mengapa Harus Melakukan Pengorbanan ?
Pertama, kita harus berkorban dalam hidup ini, karena pengorbanan merupakan konsekuensi dan sekaligus esensi dari keimanan, yakni berupa kesiapan total untuk menyerahkan dan mengorbankan segala ”milik” kita di jalan Allah, untuk Allah semata, dan dalam rangka menggapai ridha-Nya, sebagaimana firman-Nya:
”Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadah sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS Al-An’am [6]: 162)

Kedua, kita harus selalu siap berkorban, karena pengorbanan-pengorbanan dalam hidup dan perjuangan merupakan nilai dan ”harga” yang harus kita bayar untuk memperoleh Surga dan selamat dari Neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“ألا إن سلعة الله غالية ، ألا إن سلعة الله الجنة ” (رواه الترمذي)

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya ”barang dagangan” Allah itu mahal. Ketahuilah bahwa sesungguhnya ”barang dagangan” Allah adalah Surga” (HR At-Turmudzi)
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat (QS Al-Baqarah [2]: 214)

Ketiga, kita harus selalu siap dan menyiapkan diri untuk berkorban karena kita wajib berjihad dan berjuang: berjihad dan berjuang untuk hidup, berjihad dan berjuang untuk membela hak, berjihad dan berjuang untuk membela kebenaran, berjihad dan berjuang untuk menolak dan melawan segala bentuk kemungkaran, kedzaliman dan kejahatan. Intinya berjihad dan berjuang di jalan dakwah demi meninggikan kalimat Allah. Dan tidak ada jihad dan perjuangan yang tanpa pengorbanan!

Keempat, kita wajib terus berkorban untuk menjaga kehormatan, kemuliaan dan martabat. Baik martabat diri pribadi, martabat keluarga maupun martabat umat dan bangsa, serta lebih-lebih martabat keyakinan dan agama. Orang dan bangsa yang tidak siap dan tidak mau berkorban berarti telah siap dan memilih hidup dalam kerendahan dan kehinaan. Mengapa ummat Islam mundur dan terbelakang? Mengapa kita kaum muslimin menjadi ummat yang rendah padahal semestinya kita ummat tertinggi (QS Ali ’Imran [3]: 139)? Mengapa kita menjadi ummat yang hina padahal seharusnya kita adalah ummat termulia (QS Al-Munafiqun [63]: 8)? Mengapa ummat ini selalu berada dalam posisi terpojokkan sebagai umat terdakwa dan tertuduh dan tersangka, padahal Allah telah menetapkan kita sebagai umat saksi (QS. Ali Imraan [3]: 143)? Itu semua terjadi tidak lain karena kita telah meninggalkan jalan jihad dan perjuangan, enggan berkorban, cinta dunia dan takut mati.  Rasulullah shallahu ’alaihi wasallam bersabda:

“يوشك أن تداعى عـليكم الأمم من كـل أفـق، كما تداعى الأكـلة إلى قصـعتها، قيل: يا رسول الله فمن قلّة يومئذ ؟ قال لا، و لكنكم غثاء كـغثاء السيل، يجعل الوهن في قـلوبكم، و ينـزع الـرعب من قـلوب عدوكم ، لحـبّكم الدنيا و كـراهيتكم الموت” (رواه أحمد و أبو داود)

”Hampir-hampir saja ummat-ummat dari segala penjuru mengeroyok kalian, sebagaimana orang yang rakus sangat bernafsu untuk menyantap makanannya. Ditanyakan oleh para sahabat: ’Wahai Rasulullah, apakah karena ketika itu kami sedikit jumlahnya?’ Rasulullah menjawab,’Tidak. Akan tetapi kalian (ketika itu) telah menjadi buih, seperti buih air bah. Dijadikan penyakit wahn dalam hati kalian, dan dicabut rasa takut (terhadap kalian) dari hati musuh-musuh kalian. Sebabnya adalah karena kalian cinta dunia dan takut mati” (HR Ahmad dan Abu Dawud)

Kelima, pengorbanan demi pengorbanan harus kita lakukan dan persembahkan dalam hidup ini, karena itulah sunnah, tuntutan dan sekaligus syarat kehidupan. Kehidupan dunia ini penuh dengan ujian, cobaan, tantangan dan persoalan, yang semuanya menuntut pengorbanan. Orang yang tidak siap dan tidak mau berkorban berarti seakan tidak siap untuk hidup!
 
”Yang menciptakan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS Al-Mulk [67]: 2)
”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS Al-Baqarah [2]: 155).

Agar Pengorbanan Tidak Sia-sia
Di dalam Islam, memang kita diperintahkan agar senantiasa siap dengan berbagai bentuk pengorbanan, seperti yang telah disebutkan dimuka. Namun disaat yang sama, sangat tidak dibenarkan pula jika dalam berkorban kita melakukannya secara asal begitu saja. Tidak ada yang namanya asal-asalan di dalam ajaran Islam yang mulia. Semuanya pasti ada syarat, ketentuan dan aturannya yang ketat. Apalagi dalam hal-hal yang menuntut pengorbanan. Lebih-lebih lagi bila yang dituntut adalah pengorbanan-pengorbanan besar, yang puncaknya adalah pengorbanan jiwa. Sehingga yang dinilai dan diterima hanyalah pengorbanan-pengorbanan yang sesuai dengan syarat, ketentuan dan aturan. Sedangkan yang tidak berdasarkan ketentuan, maka hanya akan menjadi pengorbanan yang sia-sia. Dimana akibatnya, tidak hanya tidak bernilai ataupun berpahala, melainkan justru bisa mendatangkan dosa.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Dan infakkanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri di dalam kebinasaan, serta berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-Baqarah: 195).

Maka dalam berkorban, khususnya dengan harta dan apalagi jiwa, setiap muslim harus memperhatikan benar syarat, ketentuan dan aturannya. Karena jika tidak, maka sangat boleh jadi pengorbanan yang dilakukannya justru hanya akan mencampakkan dan menjerumuskan diri sendiri dalam kesia-siaan dan bahkan kebinasaan, seperti yang disebutkan di dalam ayat diatas.

Adapun ketentuan dan syarat agar pengorbanan itu bernilai dan diterima, secara umum, adalah sebagai berikut:
Pertama, pengorbanan apapun harus dibangun dan didasarkan pada prinsip keikhlasan niat lillahi ta’ala. Yakni, dasarnya adalah iman, dan motivasi utamanya adalah demi mengharap karunia, rahmat dan ridha Allah semata.

Kedua, bentuk pengorbanan haruslah termasuk dalam bentuk pengorbanan yang dibenarkan secara syariah, sesuai ilmu fiqih yang benar-benar bisa dipertanggung jawabkan, sebagai hasil ijma’ dan konsensus para ulama dan imam agung sepanjang sejarah. Jadi tidak boleh hanya berdasarkan semangat saja tanpa ilmu, apalagi semangat membara yang berlebihan.

Ketiga, bahwa pengorbanan yang dilakukan tidak justru berdampak negatif, tidak menimbulkan fitnah, dan tidak menghadirkan kemadharatan dan kerusakan, baik terhadap diri sendiri, keluarga, apalagi terhadap masyarakat luas dan bangsa serta umat secara umum.

Selanjutnya, terjadinya berbagai musibah dan bencana yang silih berganti di negeri kita ini adalah dalil paling nyata bahwa dalam hidup ini tidak mungkin kita tidak berkorban. Dengan adanya musibah-musibah dan bencana-bencana yang selama ini terjadi, sudah tidak terhitung berapa jumlah korban dan pengorbanan dari bangsa ini. Meskipun mungkin ada yang mengatakan, itu ’kan pengorbanan ”terpaksa”? Ketahuilah bahwa, ”terpaksa” ataupun sukarela, yang jelas semuanya adalah pengorbanan!

Agar ”Pengorbanan Terpaksa” Tetap Bermakna dan Bernilai Tinggi

Meskipun mungkin ”terpaksa” sifatnya, pengorbanan yang terjadi karena bencana dan musibah tetap bisa bermakna dan bernilai tinggi bahkan setinggi-setingginya dengan kita melakukan hal-hal berikut:

a.    Mengimani dan menerima bencana dan musibah dengan segala pengorbanannya sebagai takdir dan ketentuan Allah. Di dunia ini segala sesuatu tidak mungkin terjadi kecuali dengan takdir Allah Ta’ala (QS At-Taghabun [64]: 11). Namun perlu dipahami bahwa iman kita pada takdir tidak berarti menghapus kesalahan orang yang salah, tidak menutup dan menghilangkan hak para korban dan tidak menghentikan tuntutan terhadap pihak-pihak yang harus bertanggung jawab!
 
b.    Menjaga dan meningkatkan kesabaran, ketabahan dan tawakkal kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
”Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (QS Az-Zumar [39]: 10)

c.    Meyakini bahwa setiap musibah yang terjadi pasti memiliki hikmah dan pelajarannya. Karena itu kita harus berusaha mencari dan mendapatkan hikmah dan pelajaran sebesar-besarnya dan sebanyak-banyaknya dari musibah dan ujian yang kita alami. Musibah-musibah yang terjadi, jika kita sikapi dan terima dengan sabar dan tawakkal, akan menghapuskan dosa, melipatgandakan pahala, menambah iman, meningkatkan derajat kita di sisi Allah, dan fadhilah-fadhilah besar yang lainnya. Dan bagi seorang mukmin, musibah justru menjadi tanda kebaikannya dan kecintaan Allah terhadapnya. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

“من يـرد الله به خـيرا يصب منه” (رواه البخاري و أحمد)
“Barangsiapa yang Allah kehendaki untuknya kebaikan maka Allah justru akan memberikan musibah kepadanya” (HR Al-Bukhari dan Ahmad).

“إذا أحبّ الله قـوما ابتلاهـم” (رواه الترمذي و أحمد و البيهقي)
”Apabila Allah mencintai suatu kaum maka Allah akan memberikan ujian dan cobaan kepada mereka” (HR At-Turmudzi, Ahmad dan Al-Baihaqi).

d.    Melakukan muhasabah dan introspeksi diri. Jangan-jangan karena selama ini kita kurang berkorban atau bahkan enggan berkorban secara sukarela, maka Allah ”menjewer” kita dengan terjadinya musibah-musibah dan bencana-bencana yang memaksa kita berkorban dengan berbagai bentuk pengorbanan, yang kadang-kadang menghabiskan seluruh milik kita. Padahal sebelumnya barangkali kita keberatan untuk berkorban dengan sebagian kecil saja dari yang kita miliki, yang pada hakikatnya adalah milik Allah.

e.    Dalam menghadapi musibah dan bencana serta mencari solusi dan jalan keluar, kita harus kembali dan mengembalikan semuanya kepada Allah dan kepada syariat Allah. Kita harus lebih dekat kepada Allah, dengan meningkatkan iman dan memurnikan tauhid kita kepada Allah. Dan jangan sekali-kali justru mengundang murka Allah dengan melakukan hal-hal dan tindakan-tindakan yang merusak akidah dan melawan syariat Allah. Misalnya mencoba menyelesaikan masalah dan mencari solusi dengan cara-cara yang bermuatan klenik, mistik, perdukunan dan semacamnya. Karena itu berarti menyelesaikan masalah dengan masalah yang lebih besar dan mencari solusi dan jalan keluar dari musibah dengan musibah yang lebih dahsyat!

"Makrus pejalan kaki 25-04-2013."

0 comments: