Cinta dan Jeruk Manisku
Seperti biasa sesudah sholat Magrib, aku menjemput dia di gereja. Aku menunggu di depan gereja bersama motor tuaku (kaze red) buatan sebelum masehi saat kerajaan majapahit masih berjaya. Tatapanku lekat ke bagian samping gereja. Di sebuah ruangan di samping gereja, ada seorang wanita dengan senyum simpulnya menyalami anak-anak kecil yang keluar dari ruangan itu. Wanita itu bernama Via. Wanita yang 2 tahun terakhir ini aku anggap penting, terpenting kedua setelah ibuku. Wanita ini berbeda, Sabtu sore biasanya seorang wanita menghabiskan sisa weekend mereka dengan "meejeeng" di berbagai trade center, tapi Via menghabiskan Sabtu sorenya untuk mengajar anak-anak sekolah minggu di gerejanya. Dia menyayangi anak-anak seperti aku menyayangi dia atau mungkin sangat amat menyayangi.
"Udah lama ya, Kus?" Sapanya ringan tapi mengagetkanku.
"Markus Setiawan! 2 tahun kenal tetap aja panggil Kus, Kus, Tikus! Enggak, aku juga baru
nyampe kok." Aku menjawab pertanyaannya.
"Sensi
banget! Laper ya? Eh, ada rumah makan bakmi di dekat gerejaku. Kata temenku
enak lho. Coba yuk! Aku yang traktir!" Dia mengajakku dengan semangat.
"Boleh.
Kalau aku nambah, kamu bayarin juga kan?"
"Iyadeh.
Makan sekalian sama piring-piringnya deh ya!"
"Sekalian
sama gerobak deh."
"Ih, cepet
ah! Aku laper!" Dia memasang tampang cemberut sambil menaiki motorku. Cuma
dia satu-satunya wanita yang mungkin tidak malu menaiki motor tua dengan
pengendara acak-acakan seperti aku ini.
***
"Bakminya
ternyata enak! Aku kira enaknya cuma kata orang-orang aja. Ternyata enak
beneran!" Dia berkata dengan penuh keyakinan, untuk meyakinkan otakku
mungkin.
"Semua
bakmi ya rasanya kayak gini!"
“Sstt.. frontal
banget sih!” Dia menarik hidungku sampai merah. Sakit!
“Lebay! Baru
ditarik pake tangan kan, bukan pake garpu bangunan!”
“Sangar banget
sih!” Aku membalas menarik hidungnya tapi dia malah tertawa. Aku menikmati
suasana ini, suatu saat mungkin aku akan merindukan saat-saat seperti ini.
Sungguh, aku ingin menjadikan dia sesuatu yang satu-satunya kulihat saat bangun
pagi, tapi kita berbeda, bumi dan langit. Sesuatu yang kita yakini, agama,
malah menjadikan kita terasa benar-benar berbeda.
***
Sesampainya di
rumah, aku melihat mama sedang menonton televisi. Aku duduk di samping beliau
dan mencium tangannya. Tanpa berkata-kata, aku langsung meninggalkan beliau
menuju kamar.
“Jemput Via
lagi ya?” Suara mama yang tinggi mengagetkanku.
“Iya,Ma.” Aku
menjawab pendek.
“Kamu tuh gak
ngerti ya kalau mama bilangin! Selesai sholat Magrib, langsung pulang! Gak usah
kelayapan dan sok-sokan baik jemput-jemput Via! Emang dia mau ngasih apa kalau
kamu jemput? Emang dia siapa sampe kamu repot-repot buat jemput?”
“Berbuat baik
kan gak salah,Ma.”
“Mama gak suka
liat kalian sering-sering berdua. Kamu ngapain sih deket-deket sama dia?
Mending kamu cari wanita yang lebih pantas, seagama, jilbaban, terus kenalin ke
mama. Gitukan lebih baik!”
"Tapi, Ma.
Seharusnya agama itu tidak persekat-sekat kan!" Aku berkata kepada ibuku
dengan nada tinggi, kesal.
"Kalian
berbeda agama. Beda cara beribadah, berbeda pula siapa yang kalian sembah.
Begitu pula dengan ideologi hidup kalian! Agama berbeda maka berbeda juga
tujuan hidup di dunia ini. Kalian tidak akan bersatu! Alam semesta mau sesuatu
yang seimbang, bukan sejoli angkuh seperti kalian!" Ibuku menghujani
perkataan yang membuat aku tambah kesal, hatiku sakit, teriris.
"Tuhan itu
cuma satu! Hanya cara-cara menyembah-Nya saja yang berbeda!" Aku berjalan,
membanting pintu kamar. Amat sangat kesal.
***
Seperti hari
Minggu biasanya, selesai sholat Magrib, aku menjemput Via di gereja. Selesai
menyalami anak-anak sekolah Minggu, dia menghampiri aku yang sedang duduk
dimotorku. Dia melipat wajahnya, seperti menyembunyikan sesuatu.
"Maaf ya, Kus. Aku mau pulang sendiri. Tapi, nanti malam kita ketemu di tempat biasa ya.
Aku mau membicarakan sesuatu dan itu butuh tempat sepi." Nadanya menyimpan
banyak perasaan getir. Aku takut.
***
Di bawah sinar
rembulan, aku menatapnya lekat.
"Aku gemar
berdoa. Bercerita pada Tuhan tentang kita. Dalam persepsiku, Tuhan ikut
bahagia. Walau kita menyebutNya dengan nama berbeda." Dia berbicara dan
menatapku, dalam.
"Tapi kok
aku gak merasa Dia bahagia? Aku ke masjid, kamu ke gereja. Semusim kita
menjalani itu semua, tapi orang-orang sekitar menganggap kita bodoh. Mereka
menertawakan dua orang berbeda keyakinan yang sering menghabiskan waktu
bersama, berdua. Bukan untuk berzinah tapi untuk meyakinkan pada dunia bahwa
perbedaan bukan alasan untuk tidak saling mengasihi. Mereka bilang kita
pacaran, tapi jutaan kali kita mengatakan sahabatan. Ah.. Sahabatan. Status
yang selalu membuatku sesak. Padahal, aku begitu menyayangimu, Bi. Bahkan saat
mereka menganggap kita berdua bodoh!" Aku berkata dengan segala kesesakan
yang aku rasa. Lega.
"Aku juga
sayang sama kamu, Kus. Ini yang selalu membuatku semakin sesak saat ngelihat
mata kamu. Harusnya dunia gak sekeras ini sama kita." Dia berkata dengan
penuh kejujuran, aku merasa sesak.
"Mungkin
ini akan ngagetin kamu, bulan depan aku akan mengikuti seminari suster. Seumur
hidupku akan ku berikan untuk melayani Tuhan. Aku udah mikirin ini jauh-jauh
hari, jadi jangan tanya kenapa karena pasti jawabannya akan benar-Benar
panjang!" Dia berkata dengan perasaan resah dan gundah, seperti tidak
yakin bahwa dia bisa melakukan hal itu.
"Kamu yakin?"
"Keyakinan
itu bisa datang karena terbiasa dan mengerti apa yang diyakinki. Aku gak yakin
bisa ninggalin semua, termasuk kamu…" Dia berkata dengan mata memerah,
menahan tangis.
"Kamu akan
menemukan tulang rusukmu, Kus, yang jelas bukan aku. Kamu akan menemukan yang terbaik,
lebih baik daripada aku."
Aku terdiam,
tidak bisa menahan air mata itu. Aku terlihat seperti lelaki bodoh, menangis di
depan wanita yang aku cintai dan begitu berarti.
"Aku
mungkin bakal kangen sama kamu. Tapi aku gak harus terenyuh dan terlalu memikirkan
kangen itu,Kus. Kamu dan aku akan baik-baik saja."
Aku tidak bisa
berhenti menatap matanya yang benar-benar merah. Dia benar-benar ingin
menunjukan padaku bahwa dia adalah wanita yang kuat.
"Pulang
yuk, udah malam." Dia menarik lengan bajuku, pertanda agar aku segera
menaiki sepeda motorku.
Akhirnya kami
pulang dan masih menyimpan banyak sakit. Tuhan belum puas membunuhku dengan
harapan-harapan kosong yang aku buat sendiri.
Butir-butir air membasahi tanganku. Hujan! Walaupun masih rintik-rintik. Aku takut, Via kehujanan. Butir-butir hujan itu semakin bertambah, rintik-rintiknya menjadi deras. Dingin, aku merasa begitu dingin. Dari belakang, dia menggenggam bahuku. Memelukku dengan erat. Jika seperti ini, aku ingin merasa terus kedinginan, agar dia bisa terus memelukku. Pertama kali dan terakhir kali dia memelukku, sebelum aku mengikhlaskannya sebagai kekasih Tuhan.
"Aku gemar berdoa. Bercerita pada Tuhan tentang
kita. Dalam persepsiku, Tuhan ikut bahagia. Walau kita menyebutNya dengan nama
berbeda" -makrus-
not bad :)
BalasHapusfotonya dapat darimana ya?
BalasHapus