Sayap Yang Tak Pernah Patah
Di alam jiwa, sayap cinta itu sesungguhnya tak
pernah patah. Kasih selalu sampai di sana. “Apabila ada cinta di hati
yang satu, pastilah ada cinta di hati yang lain“, kata Rumi. “Sebab
tangan yang satu takkan bisa bertepuk tanpa tangan yang lain“. Mungkin
Rumi bercerita tentang apa yang seharusnya. Sementara kita menyaksikan
fakta lain....
Kalau cinta berawal dan berakhir pada Allah, maka cinta pada yang lain hanya upaya menunjukkan cinta pada-Nya, pengejewantahan ibadah hati yang paling hakiki : selama memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Dalam makna memberi itu posisi kita sangat kuat: kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah dan melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab di sini kita justru melakukan sebuah “pekerjaan jiwa” yang besar dan agung: mencintai.
Ketika kasih tak sampai, atau uluran tangan cinta tertolak sesungguhnya yang terjadi hanyalah “kesempatan memberi” yang lewat. Hanya itu. Setiap saat kesempatan semacam itu dapat terulang. Selama kita memiliki cinta, memiliki “sesuatu” yang dapat kita berikan, maka persoalan penolakan atau ketidaksampaian jadi tidak relevan. Ini hanya murni masalah waktu. Para pecinta sejati selamanya hanya bertanya : “Apakah yang akan kuberikan?” Tentang kepada “siapa” sesuatu itu diberikan, itu menjadi sekunder.
Jadi kita hanya patah atau hancur karena kita lemah. Kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini : kita mencintai seseorang, lalu kita menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak untuk hidup bersama, itu lantas menjadi sumber kesengsaraan. Kita menderita bukan karena kita mencintai. Tapi karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang lain tidak mencintai kita...
Kalau cinta berawal dan berakhir pada Allah, maka cinta pada yang lain hanya upaya menunjukkan cinta pada-Nya, pengejewantahan ibadah hati yang paling hakiki : selama memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Dalam makna memberi itu posisi kita sangat kuat: kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah dan melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab di sini kita justru melakukan sebuah “pekerjaan jiwa” yang besar dan agung: mencintai.
Ketika kasih tak sampai, atau uluran tangan cinta tertolak sesungguhnya yang terjadi hanyalah “kesempatan memberi” yang lewat. Hanya itu. Setiap saat kesempatan semacam itu dapat terulang. Selama kita memiliki cinta, memiliki “sesuatu” yang dapat kita berikan, maka persoalan penolakan atau ketidaksampaian jadi tidak relevan. Ini hanya murni masalah waktu. Para pecinta sejati selamanya hanya bertanya : “Apakah yang akan kuberikan?” Tentang kepada “siapa” sesuatu itu diberikan, itu menjadi sekunder.
Jadi kita hanya patah atau hancur karena kita lemah. Kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini : kita mencintai seseorang, lalu kita menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak untuk hidup bersama, itu lantas menjadi sumber kesengsaraan. Kita menderita bukan karena kita mencintai. Tapi karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang lain tidak mencintai kita...
0 comments: