Bapak Sartono, Sang Pencipta 'Hymne Guru'
Terpujilah wahai engkau, Ibu-Bapak guru. Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku. Masih ingat lagu Hymne Guru? Sang pencipta lagu, Bapak Sartono kini telah renta dan hidup sederhana dengan istrinya.
Jiwa
ini tak kuasa menahan tangis saat Melantunkan suaranmu "lagu hymne
Guru" pada Semiar Nasional "Guru" Digugu Lan Ditiru yang berlangsung di
kampus II Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, Sabtu 29/12/12.
Nasib seorang pencipta lagu terkadang tidak sebaik karya-karyanya
yang banyak dikenal oleh masyarakat umum. Adalah Sartono (75), seorang
mantan guru yayasan swasta di Kota Madiun, Jawa Timur, yang berprestasi
menciptakan lagu "Hymne Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" pada tahun
1980-an. Sebuah lagu wajib yang kini selalu dinyanyikan di
sekolah-sekolah baik tingkat SD hingga SMA di negeri ini.
Keberadaan
laki-laki tersebut sungguh jauh dari mewah. Bapak Sartono tetap hidup
sederhana di rumahnya yang berdinding kayu di Jalan Halmahera Nomor 98
Kelurahan Oro-Oro Ombo, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun. Ia tinggal
bersama sang istri tercinta, Damiyati, pensiunan guru SD setempat.
"Kondisi
Bapak (Sartono) saat ini sudah pikun karena usianya yang renta. Tapi
kalau diajak menyanyi 'Hymne Guru', beliau masih ingat dan bersemangat,"
ujar istri Sartono, Damiyati.
Meski raganya telah tua dan
kualitas memori dalam kepalanya telah menurun, sosok Sartono masih
menunjukkan sisa-sisa kegigihan seorang pahlawan tanpa tanda jasa,
sebagai seorang guru. Jiwa untuk mengenal dan belajar akan hal-hal baru
masih lekat padanya.
"Bapak belajar musik secara otodidak. Beliau
adalah guru seni musik yang belajar sendiri dari berbagai pengetahuan.
Pada tahun 1978, Pak Sartono adalah satu-satunya guru seni musik yang
bisa membaca not balok di wilayah Madiun. Itu semua ia pelajari sendiri,
tanpa mengenyam pendidikan tinggi tentang musik," terang Damiyati.
Bahkan
karena keterbatasan alat musik yang ia punyai, lanjut Damiyati, lagu
"Hymne Guru" yang saat ini sangat terkenal, ia ciptakan dengan bersiul
sambil menorehkannya ke dalam catatan kertas.
Bapak Sartono memulai
kariernya sebagai guru seni musik pada tahun 1978. Ia adalah guru di
sebuah yayasan swasta yang mengajar di SMP Katolik Santo Bernardus, Kota
Madiun. Bapak Sartono purnatugas dari sekolah tersebut pada tahun 2002.
"Selama
bertugas, gajinya sangat pas-pasan, bahkan tidak banyak. Bapak pernah
menerima gaji hanya Rp 22.000 per bulan waktu itu, kemudian bertahap
naik hingga Rp 60.000 per bulan. Penghasilan tersebut disesuaikan dengan
jam mengajar Bapak," papar Damiyati.
Kecintaannya pada musik
telah membuat Bapak Sartono menciptakan beberapa buah lagu. Bertepatan dengan
momentum hari Pendidikan Nasional pada tahun 1980, Bapak Sartono mengikuti
lomba mencipta lagu tentang pendidikan.
Dari ratusan peserta, lagu
"Hymne Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa", ciptaannya, berhasil menjadi
pemenang. Selain mendapatkan sejumlah uang sebagai pemenang, Sartono
bersama sejumlah guru teladan lainnya di seluruh Indonesia dikirim ke
Jepang untuk studi banding.
Meski karyanya sangat fenomenal dan
dinyanyikan oleh hampir semua orang di negeri ini, keberadaan Bapak Sartono
nyaris tak tersentuh oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Bahkan
yang lebih miris, Bapak Sartono tidak pernah menerima sepeserpun royalti atas
hasil karyanya tersebut.
Keluarga Bapak Sartono pun mulai putus asa soal
royalti itu. Bagi keluarga, yang terpenting saat ini adalah kesehatan
Bapak Sartono. Apalagi dengan kondisi daya ingatnya yang menurun,
keluarga tidak berpikir macam-macam dan lebih berfokus untuk menjaga
kesehatan Pak Sartono.
Meski fisiknya terlihat sehat, Bapak Sartono
membutuhkan pendamping untuk menjalani sebagian aktivitasnya. Hal inilah
yang membuat istrinya harus ikut ke mana-mana jika Bapak Sartono menerima
undangan sebagai bintang tamu.
Selain lagu "Hymne Guru" yang
fenomenal itu, Bapak Sartono juga menghasilkan delapan buah lagu bertema
pendidikan lainnya. Perhatiannya yang demikian serius dalam dunia
pendidikan dan pengabdiannya sebagai guru membuahkan penghargaan dari
Mendikbud Yahya A Muhaimin dan Dirjen Pendidikan Soedardji Darmodihardjo
pada saat menciptakan lagu "Hymne Guru".
Penghargaan dan
perhatian lainnya terus mengalir. Namun, hal itu justru datang dari
sejumlah universitas, lembaga, dan komunitas lainnya. Sang pahlawan
tanpa tanda jasa tersebut malah tidak menerima bantuan apa pun, baik
dari pemerintah pusat maupun daerah.
"Seingat kami, perhatian
sekali pernah diberikan oleh Wali Kota Madiun yang saat itu menjabat,
yakni Bapak Kokok Raya. Beliau memberikan bantuan berupa satu sepeda
motor Garuda pada tahun 2006. Selain itu, tidak ada," ungkap Ibu Damiyati.
Untuk
bertahan hidup, pasangan ini mengandalkan gaji dari Ibu Damiyati yang
merupakan PNS guru dan mengajar di SDN Klegen V kota Madiun. Ia telah
pensiun per Januari 2011.
Bercakap-cakap dengan Bapak Sartono
Meski tidak mendapat perhatian, Bapak Sartono tidak berambisi meminta bantuan dan simpati masyarakat. Jiwanya yang selalu bersyukur kepada Tuhan YME telah membuat ia hidup sederhana dan terus mengabdi tanpa pamrih.
Meski tidak mendapat perhatian, Bapak Sartono tidak berambisi meminta bantuan dan simpati masyarakat. Jiwanya yang selalu bersyukur kepada Tuhan YME telah membuat ia hidup sederhana dan terus mengabdi tanpa pamrih.
Dalam
usianya yang telah senja, Bapak Sartono masih sering diminta sebagai bintang
tamu oleh komunitas tertentu, untuk menularkan hal-hal positifnya kepada
generasi muda.
Bahkan, pria ini pernah diminta oleh TNI Angkatan
Darat ke Aceh pascabencana tsunami pada tahun 2004 untuk menghibur dan
memberi semangat para guru di Bumi Rencong tersebut.
Menurut pria
kelahiran Madiun pada 29 Mei 1936 itu, menjadi guru di sebuah yayasan
dengan penghasilan yang pas-pasan adalah panggilan hidup yang harus
dihadapi dengan sabar. Meski demikian, melalui istrinya, Bapak Sartono pernah
berharap agar pemerintah terus berupaya meningkatan kesejahteraan guru
di Tanah Air ini.
Demikianlah
Bapak Sartono. Meski nasibnya lebih mirip seperti lagu gubahannya sendiri,
yakni sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang terlupakan dan tak dikenal,
ia tetap hidup bersahaja. Hingga akhir masa jabatannya dan sampai saat
ini, Bapak Sartono tetap hidup sederhana dengan istrinya. Pasangan ini tetap
hidup bahagia meski tidak memiliki keturunan.
"Saya tidak berani berkomentar banyak karena hal tersebut bukan
kapasitas saya. Saya yakin Pak Sartono menerima banyak penghargaan atas
prestasi yang ia lakukan. Ia memang layak untuk itu." Sungguh Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku. Terima kasih Bapak Sartono telah membuka mata hati kami di seminar nasional "GURU" Digugu Lan Ditiru. Semoga GURU yang di masa kini dan yang akan datang terus menjadi lebih baik dalam hal apapun, sebagai :
AGEN
PERUBAHAN SOSIAL (AGENT OF SOCIAL CHANGE)
YANG MENGUBAH POLA PIKIR, SIKAP, DAN PERILAKU UMAT MANUSIA
#MENUJU KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK, LEBIH BERMARTABAT, DAN
LEBIH MANDIRI#
Jabat Erat
.................
Para "GURU"
Digugu Lan Ditiru
0 comments: