Minggu, 30 Desember 2012

Bapak Sartono, Sang Pencipta 'Hymne Guru'

Terpujilah wahai engkau, Ibu-Bapak guru. Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku. Masih ingat lagu Hymne Guru? Sang pencipta lagu, Bapak Sartono kini telah renta dan hidup sederhana dengan istrinya.

Jiwa ini tak kuasa menahan tangis saat Melantunkan suaranmu "lagu hymne Guru" pada Semiar Nasional "Guru" Digugu Lan Ditiru yang berlangsung di kampus II Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, Sabtu 29/12/12

Nasib seorang pencipta lagu terkadang tidak sebaik karya-karyanya yang banyak dikenal oleh masyarakat umum. Adalah Sartono (75), seorang mantan guru yayasan swasta di Kota Madiun, Jawa Timur, yang berprestasi menciptakan lagu "Hymne Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" pada tahun 1980-an. Sebuah lagu wajib yang kini selalu dinyanyikan di sekolah-sekolah baik tingkat SD hingga SMA di negeri ini.

Keberadaan laki-laki tersebut sungguh jauh dari mewah. Bapak Sartono tetap hidup sederhana di rumahnya yang berdinding kayu di Jalan Halmahera Nomor 98 Kelurahan Oro-Oro Ombo, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun. Ia tinggal bersama sang istri tercinta, Damiyati, pensiunan guru SD setempat.

"Kondisi Bapak (Sartono) saat ini sudah pikun karena usianya yang renta. Tapi kalau diajak menyanyi 'Hymne Guru', beliau masih ingat dan bersemangat," ujar istri Sartono, Damiyati.

Meski raganya telah tua dan kualitas memori dalam kepalanya telah menurun, sosok Sartono masih menunjukkan sisa-sisa kegigihan seorang pahlawan tanpa tanda jasa, sebagai seorang guru. Jiwa untuk mengenal dan belajar akan hal-hal baru masih lekat padanya.

"Bapak belajar musik secara otodidak. Beliau adalah guru seni musik yang belajar sendiri dari berbagai pengetahuan. Pada tahun 1978, Pak Sartono adalah satu-satunya guru seni musik yang bisa membaca not balok di wilayah Madiun. Itu semua ia pelajari sendiri, tanpa mengenyam pendidikan tinggi tentang musik," terang Damiyati.

Bahkan karena keterbatasan alat musik yang ia punyai, lanjut Damiyati, lagu "Hymne Guru" yang saat ini sangat terkenal, ia ciptakan dengan bersiul sambil menorehkannya ke dalam catatan kertas.

Bapak Sartono memulai kariernya sebagai guru seni musik pada tahun 1978. Ia adalah guru di sebuah yayasan swasta yang mengajar di SMP Katolik Santo Bernardus, Kota Madiun. Bapak Sartono purnatugas dari sekolah tersebut pada tahun 2002.

"Selama bertugas, gajinya sangat pas-pasan, bahkan tidak banyak. Bapak pernah menerima gaji hanya Rp 22.000 per bulan waktu itu, kemudian bertahap naik hingga Rp 60.000 per bulan. Penghasilan tersebut disesuaikan dengan jam mengajar Bapak," papar Damiyati.

Kecintaannya pada musik telah membuat Bapak Sartono menciptakan beberapa buah lagu. Bertepatan dengan momentum hari Pendidikan Nasional pada tahun 1980, Bapak Sartono mengikuti lomba mencipta lagu tentang pendidikan.

Dari ratusan peserta, lagu "Hymne Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa", ciptaannya, berhasil menjadi pemenang. Selain mendapatkan sejumlah uang sebagai pemenang, Sartono bersama sejumlah guru teladan lainnya di seluruh Indonesia dikirim ke Jepang untuk studi banding.

Meski karyanya sangat fenomenal dan dinyanyikan oleh hampir semua orang di negeri ini, keberadaan Bapak Sartono nyaris tak tersentuh oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Bahkan yang lebih miris, Bapak Sartono tidak pernah menerima sepeserpun royalti atas hasil karyanya tersebut.

Keluarga Bapak Sartono pun mulai putus asa soal royalti itu. Bagi keluarga, yang terpenting saat ini adalah kesehatan Bapak Sartono. Apalagi dengan kondisi daya ingatnya yang menurun, keluarga tidak berpikir macam-macam dan lebih berfokus untuk menjaga kesehatan Pak Sartono.

Meski fisiknya terlihat sehat, Bapak Sartono membutuhkan pendamping untuk menjalani sebagian aktivitasnya. Hal inilah yang membuat istrinya harus ikut ke mana-mana jika Bapak Sartono menerima undangan sebagai bintang tamu.

Selain lagu "Hymne Guru" yang fenomenal itu, Bapak Sartono juga menghasilkan delapan buah lagu bertema pendidikan lainnya. Perhatiannya yang demikian serius dalam dunia pendidikan dan pengabdiannya sebagai guru membuahkan penghargaan dari Mendikbud Yahya A Muhaimin dan Dirjen Pendidikan Soedardji Darmodihardjo pada saat menciptakan lagu "Hymne Guru".

Penghargaan dan perhatian lainnya terus mengalir. Namun, hal itu justru datang dari sejumlah universitas, lembaga, dan komunitas lainnya. Sang pahlawan tanpa tanda jasa tersebut malah tidak menerima bantuan apa pun, baik dari pemerintah pusat maupun daerah.

"Seingat kami, perhatian sekali pernah diberikan oleh Wali Kota Madiun yang saat itu menjabat, yakni Bapak Kokok Raya. Beliau memberikan bantuan berupa satu sepeda motor Garuda pada tahun 2006. Selain itu, tidak ada," ungkap Ibu Damiyati.

Untuk bertahan hidup, pasangan ini mengandalkan gaji dari Ibu Damiyati yang merupakan PNS guru dan mengajar di SDN Klegen V kota Madiun. Ia telah pensiun per Januari 2011.

Bercakap-cakap dengan Bapak Sartono
Meski tidak mendapat perhatian, Bapak Sartono tidak berambisi meminta bantuan dan simpati masyarakat. Jiwanya yang selalu bersyukur kepada Tuhan YME telah membuat ia hidup sederhana dan terus mengabdi tanpa pamrih.

Dalam usianya yang telah senja, Bapak Sartono masih sering diminta sebagai bintang tamu oleh komunitas tertentu, untuk menularkan hal-hal positifnya kepada generasi muda.

Bahkan, pria ini pernah diminta oleh TNI Angkatan Darat ke Aceh pascabencana tsunami pada tahun 2004 untuk menghibur dan memberi semangat para guru di Bumi Rencong tersebut.

Menurut pria kelahiran Madiun pada 29 Mei 1936 itu, menjadi guru di sebuah yayasan dengan penghasilan yang pas-pasan adalah panggilan hidup yang harus dihadapi dengan sabar. Meski demikian, melalui istrinya, Bapak Sartono pernah berharap agar pemerintah terus berupaya meningkatan kesejahteraan guru di Tanah Air ini.

Demikianlah Bapak  Sartono. Meski nasibnya lebih mirip seperti lagu gubahannya sendiri, yakni sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang terlupakan dan tak dikenal, ia tetap hidup bersahaja. Hingga akhir masa jabatannya dan sampai saat ini, Bapak Sartono tetap hidup sederhana dengan istrinya. Pasangan ini tetap hidup bahagia meski tidak memiliki keturunan. 

"Saya tidak berani berkomentar banyak karena hal tersebut bukan kapasitas saya. Saya yakin Pak Sartono menerima banyak penghargaan atas prestasi yang ia lakukan. Ia memang layak untuk itu." Sungguh Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku. Terima kasih Bapak Sartono telah membuka mata hati kami di seminar nasional "GURU" Digugu Lan Ditiru. Semoga GURU yang di masa kini dan yang akan datang terus menjadi lebih baik dalam hal apapun, sebagai :
AGEN PERUBAHAN SOSIAL (AGENT OF SOCIAL CHANGE) YANG MENGUBAH POLA PIKIR, SIKAP, DAN PERILAKU UMAT MANUSIA
#MENUJU KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK, LEBIH BERMARTABAT, DAN LEBIH MANDIRI#

Jabat Erat
.................
Para "GURU" 
Digugu Lan Ditiru 

0 comments: